Banyak konflik yang semakin sering terjadi. Kebanyakan karena saling kurang ngerti, atau lebih banyak oleh sebab nurutin ego berujung sakit hati. Kamu lebih suka membiarkan semuanya terjadi dan aku selalu ingin menghadapi meski dengan situasi pelik. Aku lebih memilih segala resah tersampaikan, ketimbang jalan terus sampai nggak peduli dengan tumpukan emosi. Tapi menurutmu mungkin debat adalah hal tak terpuji. Jadi kamu sukanya adem ayem aja, lalu mengabaikan “masalah”.
Saling jujur itu emang nggak enak si, apalagi untuk bilang kalau kamu dan aku nggak sesuai ekspetasi. Tapi sebaiknya dilakukan daripada kita memendam segala marah dan dendam tak berfaedah. Menjalani ini memang sulit, bahkan nyatanya nggak seindah pada mulanya. Romantisasi memang masih kerap ada, tapi kita suka kaget dan tetap tak terbiasa dengan konflik. Suka ngerasa sok paling cinta, giliran ngadepin masalah dua-duanya jadi batu. Keras kepala dan tak mau saling dikalahkan.
Ya, kamu dan aku menjalani bahagia dengan banyak “tetapi”, seperti dalam tulisan ini. Cinta tapi benci. Sayang tapi sebal. Rindu tapi jenuh. Kita adalah sepaket emosi yang kadang nggak bisa dipahami.
Susah banget ternyata membangun hubungan kalau lagi berantem. Apalagi kala isi kepala bersebrangan, frekuensi kamu seolah nyasar ke jembatan putus dan aku ke gunung gak berpenghuni. Kita mendadak saling menyusahkan.
Setelah semua situasi ngambek dan maafan terjadi, kita akhirnya malah nyerah. Yang dipertahankan jauh-jauh hari runtuh juga kan. Membawa tangis tak bersuara, sesak mengenang upayamu dan upayaku yang gagal.
Titik temu yang berkali-kali diusahakan ternyata hanya jadi lagu lama yang nggak berefek apa-apa. Kamu dan aku begitu samar untuk dilanjutkan. Kita kayak berjalan di rute yang itu-itu saja sambil sibuk memboyong masalah yang nggak ada habisnya.
Jadi sebaiknya mulai sekarang mari ambil jalan masing-masing. Kita coba mengusahakan semuanya sendiri, dan tak perlu ada aturan yang memborgol kebebasanmu juga keinginanku. Rasanya mungkin berat, tapi keyakinan kalau hal yang dibiasakan pasti bisa terlewat sejatinya akan ada disetiap cara manusia bertahan.
Huhu aku ingin menangis hari ini. Mengenang yang manis kadang bikin ingin kembali, tapi mesti ingat lagi bahwa setiap konflik hadir kita justru nggak belajar apa-apa. Kita masih sama kekanakkan.
Mari kita belajar dulu beresin diri sendiri. Kalau sekiranya cocok dan bisa kembali, mari lanjut lagi.
Untuk sekarang, pintu keluar ada disitu 🙏
Fira terhanyut membaca buku diary Mama tahun 1998. Tahun dimana Mama dan Ayah memutuskan putus setelah membangun hubungan pacaran lima tahun lamanya. Tak disangka, tahun 2003 Ayah justru melamar Mama. Keduanya menikah dan berbahagia sampai hari ini. Konflik waktu itu ternyata mengajari banyak. Kata Mama, proses menjadi dewasa memang harus butuh sabar dan butuh meruntuhkan ego. Kalau sudah berhasil lewati itu, balikan terasa mungkin. Tapi kalau nggak belajar dari yang lalu jangan coba-coba kembali hihi~


