Langit semakin kelabu, menebarkan hawa dingin menusuk kalbu. Tak lama kemudian, hujan deras turun tanpa ampun, disusul suara petir yang datang beruntun. Aku tetap bergeming, mengamati tetes air yang menempel di kaca jendela. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Itu berarti sudah dua jam aku menunggu di kedai kopi ini. Sudah dua jam, kenapa ia tak kunjung datang?
Suasana di kedai kopi semakin ramai. Ada banyak orang yang mulai berdatangan sekedar berteduh sambil menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi. Aku menggerutu kesal karena tidak membawa ponsel. Akibat kecerobohanku sendiri, sehingga aku lupa membawa ponsel karena terburu-buru berlari menuju kedai kopi tempat kami berjanji akan bertemu. Satu tahun aku menjalani hubungan jarak jauh dengannya. Hari ini akan menjadi hari pertama kami bertemu. Tetapi di mana ia sekarang?
Tak ada tanda-tanda kedatangannya. Padahal, ia adalah orang yang disiplin dan tepat waktu. Namun, sudah dua jam berlalu ia tidak kunjung datang. Apakah terjadi sesuatu dengannya? Aku mulai panik dan khawatir. Haruskah aku pulang? Atau memimjam ponsel orang lain?
Di tengah rasa kebimbangan dan khawatirku, tiba-tiba bel di atas pintu berbunyi. Pintu kaca terbuka dan berdirilah sosok yang sedari tadi aku tunggu. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Ia berjalan dengan langkah pelan menghampiriku. Matanya terlihat lelah dan sayu. Tunggu. Matanya sembab. Rambut dan jaketnya basah. Ketika ia duduk tepat di hadapanku, ia bahkan tidak tersenyum sama sekali. Menatapku pun tidak.
“Ri, kamu kemana saja? Tumben banget kamu telat lama sampai dua jam gini.” Aku memperhatikannya yang bersandar di sandaran kursi terlihat lemas.
Arion diam tak menjawab pertanyaanku. Bahkan ketika pelayan menghampirinya ia hanya menjawab memesan secangkir Latte tanpa menoleh.
Aku menjadi kesal. “Arion, tolong jawab aku sekarang atau kasih penjelasan. Kalau nggak, aku pulang.”
Tetap saja Arion tidak berbicara apapun seakan-akan ia tidak mendengarkanku. Bahkan sedari tadi ia bersikap seolah-olah tidak melihatku. Aku semakin kesal. Bukankah seharusnya aku yang marah? Aku yang sedari tadi menunggunya dan ia yang datang terlambat. Jika terjadi sesuatu padanya seharusnya ia mengatakannya padaku. Aku melipat tangan di depan dada karena kesal. Pandangan mata Arion tampak kosong, ia seperti lemas tanpa daya. Aku melambai-lambaikan tanganku ke arahnya, ia diam seolah tak melihat.
Aku semakin cepat melambaikan tangan berkali-kali dan memanggil namanya. “Arion, tolong jawab dan ngomong sesuatu. Jangan bersikap seolah-olah kamu gak lihat aku.”
Kepanikanku berubah menjadi ketakutan. “Arion, tolong! Kamu gak lihat aku sama sekali? Tolong, ini gak lucu.”
Arion tiba-tiba menangis tanpa suara. Berkali-kali kucoba menyentuhnya, namun tidak bisa. Aku tidak bisa menyentuhnya, menggenggam tangannya, mengelus punggungnya. Aku semakin takut. Aku mulai menangis. Apa yang terjadi padaku?
“Arunika…” Aku mendengar Arion memanggil namaku.
“Seharusnya, kita bertemu di sini. Kita belum sempat bertemu lagi, tapi harus berpisah dengan cara seperti ini.” Aku menangis semakin kencang. Tubuhku terasa lemas lalu jatuh meluruh.


