Bagaimana rasanya melewati hari-hari pertama di usia 25? Apakah masih ada kepercayaan dan harapan pada mimpi-mimpi masa kecilmu? Atau mungkin segalanya berubah menjadi secercah kenangan yang sudah diam-diam kamu kubur dan coba lupakan?
Kata orang sayang sekali kalau mimpi yang selalu kamu tumbuhkan sedari kecil tak jadi nyata. Itu sama saja kita tidak bersedia bertaruh dengan nasib. Terasa sia-sia.
Ivan H. Scheier percaya bahwa memang ada banyak hal yang terjadi tidak persis dalam bayangan kita dan itu sangat wajar, sebab realitas itu kompleks dan justru kejutan-kejutan dalam hidup jauh lebih layak untuk dihadapi1. Satu catatan penting yang harus dipahami adalah hal-hal baik jarang datang secara tergesa-gesa. Beberapa harus menunggu kita berjalan dan berlari menyusurinya. Beberapa juga ada yang memukul kita mundur, mencari jalur alternatif, atau bahkan berhenti untuk mengisi energi.
Meskipun saat menjadi dewasa, kita menyadari mimpi masa kecil itu kian memudar, menguap bersama udara, bahkan semakin berjarak dari kita yang pernah sangat menginginkannya. Lantas, apakah itu salah?
Sebelum jauh menyerah pada keadaan, Ivan mengajak kita untuk menanyakan kembali pada diri sendiri: apakah mimpi-mimpi yang harus mati itu pernah benar-benar hidup dalam hati dan pikiranmu? Sebab sering kali jarak antara mimpi dan kenyataan muncul karena sang pengejar mimpi tidak pernah sungguh-sungguh memfokuskan diri pada usaha yang konkret, terlalu takut membentangkan layar, terlalu ragu mengikuti tanda-tanda yang semestinya menjadi sinyal untuk melangkah maju.
Mungkin itu juga yang kerap kita hadapi, menolak intuisi padahal di sana ada keajaiban otentik yang membuat kita mengalami hal-hal bermakna. Dalam proses bertumbuh, bukan hanya realitas yang terusik, tetapi juga kata hati. Kita jadi banyak mempertanyakan mimpi, meragukan langkah, dan memelihara ketakutan akan kegagalan yang dulu tak pernah ada. Kita terlalu terbiasa mengecilkan diri sendiri.
Stuart Firestein pun sepakat bahwa cara mengukur gairah kita terhadap sesuatu adalah melalui kegagalan. Ia menyebutnya sebagai ujian atas dedikasi yang membutuhkan disiplin ketekunan secara berjilid-jilid2. Itu menjadi hal-hal yang sering kita abaikan dalam perjalanan mewujudkan mimpi. Terlalu cepat merelakan semuanya atas nama keadaan, menunda banyak kesempatan baik karena tak siap menghadapi kesulitan, dan menolak semua kritik dari orang-orang karena merasa tidak dipahami. Kita menyalahkan banyak luka-luka di masa lalu dan tidak mau bertaruh dengan harga perjuangan yang lebih mahal.
Lantas pernahkah kita berpikir bahwa kekuatan mimpi masa kecil itu seperti energi yang tumbuh dalam perjalanan menjadi orang dewasa? Pernahkah kita mengetahui bahwa mimpi adalah bagian dari identitas yang membentuk karakter, imajinasi, dan harapan untuk hidup? Seperti yang Ivan tanamkan, mimpi membuat kita menjadi manusia yang menyadari bahwa dunia ini tidak sempurna dan justru karena itulah kita punya optimisme untuk membuat perubahan. Perhaps the most powerful reason that dreams live is that having them is a large part of what it means to be human1. Para pemimpi sejati selalu percaya bahwa akan ada ruang untuk memilih, memperbaiki, dan menghasilkan dampak pada dunia yang tidak stagnan ini. Lewat jalur bermimpi, kita sudah mengambil langkah pertama.
Mungkin akan berbeda rasanya mengenang bagaimana indahnya punya mimpi di masa kecil. Semasa itu kita bebas bermimpi jadi apa saja. Mau jadi astronot, pembaca dongeng, pendidik, petualang, dan banyak profesi seru lainnya. Mimpi-mimpi itu lahir dari kekaguman dan keresahan yang dekat dengan keseharian. Kita memproses keinginan berdasarkan apa yang sering kita tonton, dengar, baca, dan lihat. Kita berani membayangkan hal-hal besar tanpa harus terpaku pada realitas dan tanpa takut kegagalan. Tanpa sadar itu membentuk kompas keseharian yang terbentang dalam jarak jauh.
Setiap kali diminta mengutarakan mimpi di masa itu, kita selalu mendapat dukungan penuh dan tidak pernah ada yang mencoba mengecilkan hati. Tidak akan ada suara sumbang yang melemahkan langkah dan semangat kita. Itulah yang membuat mimpi masa kecil terasa hidup dan berwarna-warni. Sekalipun tidak realistis, semua seolah merayakan, menganggap semuanya akan benar terwujud.
Setelah menginjak usia 20-an, kita akan sering bertemu dengan banyak hal yang akan mendekatkan pada dinamika kehidupan sesungguhnya. Seiring bertambahnya usia dan bertumbuhnya pengetahuan, manusia akan selalu punya alasan untuk inkosisten terhadap apa yang diinginkannya pun terhadap apa yang diyakini. Perkembangan itu membawa kita menemukan pandangan baru yang ternyata jauh lebih masuk akal untuk diwujudkan. Barangkali pada masa itu, mimpi-mimpi masa lalu akan ditinggalkan
Memang tidak apa-apa untuk tidak menjadi apa yang pernah kita mau. Untuk tidak selalu berhasil merengkuh segala harap di masa lalu. Tidak perlu minta maaf karena memilih jalan lain. It’s okay if today did not go as planned. Kamu sudah mempersembahkan segala upaya yang terbaik.
Semua mimpi boleh berubah asalkan kita tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Kita akan selalu punya hak mempertahankan, mengganti, atau bahkan melepaskan harapan-harapan itu. Tidak pernah ada yang salah dari seseorang yang setia pada cita-cita yang sama sedari kecil atau mereka yang selalu berganti-ganti jawaban perihal “mau jadi apa”. Begitulah hidup, kadang tidak semua yang kita usahakan akan bertemu dengan hasil akhir yang pernah diharapkan. Kadang juga ada banyak keajaiban tidak terduga, pun kemalangan yang mungkin menyela di tengah jalan. Ada banyak faktor, semuanya bersama alasan masuk akal yang kadang sering terlambat kita pahami. Seperti yang tertulis dalam buku Intuition dari Osho:“Because of the unknowable, life means something. When everything is known, then everything is flat. You will be fed up, bored.” Karena justru dari yang tak bisa kita ketahui itulah hidup menjadi berarti.
Membicarakan mimpi masa kecil di usia 20-an seperti kembali mengunjungi harapan-harapan dan road map masa lalu yang pernah kita rancang dengan penuh keyakinan. Meskipun perjalanan kita selama ini tidak sempurna, setidaknya setiap langkah kita sudah membawa diri ini lebih dekat pada pemahaman mengenai siapa kita sebenarnya.
Seperti kata Andrea Hirata, bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Ya sekalipun kamu meninggalkan mimpi masa kecilmu, kamu tidak akan pernah benar-benar pergi. Mimpi itu akan selalu berjalan bersama kita. Ia bisa saja berubah bentuk menjadi nilai, kepercayaan, dan kekuatan yang tidak main-main. Semangat-semangat yang tidak sepenuhnya hilang menyatu menjadi energi yang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu, berkarya, dan bertumbuh menjadi diri yang lebih banyak belajar. Segala yang membentuk kita hari ini adalah akumulasi dari harapan dan keputusan yang pernah kita pilih dari waktu-waktu sebelumnya. So, be grateful for all the good things that have passed~
Referensi:
1 Scheier, I. H. (2001). Making dreams come true without money, might or miracles: A guide for dream-chasers and dream-catchers. Energize, Inc.
2 Firestein, S. (2015). Failure: Why science is so successful. Oxford University Press.


