Memasuki usia kepala dua ternyata tidak semenyenangkan yang dibayangkan. Lebih tepatnya menjadi dewasa itu menyenangkan tapi susah dijalanin, seperti iklan-iklan di televisi. Yak tepat sekali!
Waktu masih kecil, penginnya cepet gede karena melihat orang-orang yang lebih dewasa itu menyenangkan. Padahal waktu kecil, lebih leluasa mau main, belajar, masih dengan pilihan sendiri. Kalau ngambek, bakalan dibujuk Ibu dan Bapak. Udah, kayaknya saat ditarik ke belakang hidup itu ternyata begitu aja.
Lalu, saat ini, saat sudah menjadi dewasa menurut versi masing-masing, ternyata we have our own way. We have our own story. We have our own struggle to face the reality. Yang paling terasa itu, saat kita sudah dibiarkan memilih jalan hidup kita sendiri. Menentukan mau jadi apa dengan langkah-langkah yang kita susun sendiri. Meski dengan tertatih-tatih.
Saat di pertengahan jalan, ternyata enggak mudah. Waktu lagi berjuang, dihantam kendala lalu gagal. Saat orang lain di sekitar kita melangkah lebih dulu, menemukan tujuannya lebih cepat. Kita seringkali menyalahkan diri sendiri karena terlambat, karena salah ambil langkah, dan karena-karena yang kita buat sendiri. Padahal, manusia itu punya turning point nya sendiri. We have our own time. Untuk sampai di waktu itu, ternyata tidak selalu sama dan sejalan dengan orang lain. Dengan teman-teman yang mungkin sama umurnya, lebih muda, atau yang lebih tua tapi pencapaiannya sudah banyak sekali. Isi CV nya bolak-balik, melihat linkedin nya membuat insecure, thread di twitter semakin buat minder serta isi instagramnya tentang pencapaian yang kita belum sampai di sana.
Pada akhirnya, kita jadi demotivasi atas pencapaian orang. Tidak turut bahagia, dan banyak respons yang tidak kita sadari juga melukai diri. Akhirnya membabat habis diri dibalik topeng keproduktifan yang kita agung-agungkan sejagad alam raya. Mencoba menunjukkan pada dunia bahwa “aku produktif lho” “aku bisa lho kayak mereka” dan butuh validasi orang-orang. Lupa istirahat, tipes pun nggak ada yang peduli.
Dan setelah itu kita sadari, bahwa semakin dikejar, semakin hilang. Semakin dikejar, semakin capek dan gak dikasih jeda untuk istirahat. Seperti dalam lirik lagu Rehat milik Kunto Aji pada album Mantra-Mantranya:
yang dicari, hilang
yang dikejar, lari
biarkanlah semesta bekerja untukmu
That’s too relate af. Setelah usaha-usaha kita selama ini, pada akhirnya kita berserah. Istirahat sejenak. Diingat-ingat kembali, nafas dulu, apa sih yang dikejar? Bahwa dalam hidup kita tidak sedang kejar-kejaran satu sama lain, melainkan menemukan waktu milik kita sendiri.
Untuk kamu yang masih berjuang, mencari jati diri dan hidup yang kamu perjuangkan;
Terima kasih sudah berjuang sampai sekarang.



