Pada larut-larut malam, aku sering dibuat repot oleh keputusasaan yang kerap mampir mondar-mandir dalam ruang menunggu tidur. Saat sedang berupaya mengistirahatkan tubuh, pikiran justru bersibuk-sibuk menggelar tikar untuk aku duduk melawan nestapa. Mengisi setiap khayalan ketakutan, lalu aku akan menangis berlarut dan ketiduran. Entahlah, rasanya lebih mudah menyalurkan sedih dalam sepi dan sendiri. Segala sesak dan lelah yang tersimpan seharian penuh akan mengalir bersama lantunan suara jangkrik dan lalu lalang motor yang menyelinap pelan-pelan. Semua kedukaan menyatu bersama udara, lalu terselubung dalam lipatan selimut kasur. Tanpa terasa pada ujungnya terpeluk segala lumuran penat sepanjang melalui mimpi. Terbawa, semakin terbawa, dan dalam.
Ketidaknyamanan yang tertahan sejak pagi tadi sudah terlalu sering bikin sedih dan terluka. Adegan membohongi publik dengan seutas senyum pura-pura biasa saja adalah yang termelelahkan. Kalut, takut, dan segala rasa pahit menyerang secara arogan. Upaya mencari cara untuk tetap tegar di hadapan banyak karena tak mau terseret pada arus pertanyaan “mengapa” sungguh menguras energi. Aku lebih suka orang-orang sibuk dengan obrolannya dibandingkan membincangkan mengenai kesedihanku yang penuh. Cukup menjadi pendengar cerita kemewahan hidup mereka rasanya sungguh tak apa. Dibandingkan harus merapalkan bahasa mengungkap bagaimana pada bagian diriku terdapat rasa yang sulit dideskripsikan. Aku harus melalui hari dengan tabah. Kebangkitanku akan hadir saat mereka berhenti mendikte langkah. Jadi tolong bantu aku dengan tidak berisik.
Aku ingin menikmati sepi. Dibandingkan harus menelan suara ramai yang lebih sering menyerang tanpa kasihan. Aku ingin menolong diriku sendiri. Dibandingkan harus mencari bantuan orang lain yang sesungguhnya tak punya label kemurnian peduli. Manusia sering berlagak pahlawan dan mengungkit di lain hari. Duh semesta, bertahan hidup sambil menanggung perih ternyata tak mudah. Apalagi aktivitasku melulu berhadapan dengan banyak orang, seharian penuh. Aku akan sangat kelelahan menjumpai malam karena energi habis terkuras tanpa sisa. Tak ada jeda untukku berkontemplasi. Terus menerus dipaksa membaur dengan dunia yang serba penuh tawa itu sukar.
Apalagi mereka tak pernah mendengarkan suaraku yang jujur. Segala keluhanku tentang hari-hari yang rumit kala menghadapi menopause memang tak mudah diutarakan. Anak-anak selalu beranggapan aku sedang cemburu menghadapi masa remaja mereka yang lebih banyak sibuk dengan teman-teman. Suamiku mengira aku sedang mengalami kerinduan pada mendiang orangtua. Tak ada yang berhasil menghiburku atau sekedar memberikan ruang sendiri untukku. Mereka tetap sibuk mengajakku ikut campur dalam ceritanya dan aku dianggap sebagai perempuan menua yang baik-baik saja.
“Capek banget ya Bu kerja. Ibu mah enak sisa seminggu lagi menuju pensiun. Setelah itu Ibu bisa rebahan di rumah, nonton Netflix, dan masak kue-kue kesukaan.” Kyla, anak perempuan pertamaku sering berkeluh kesah. Aku selalu ingat keluhan yang berulang ia ucapkan ini, rasanya sungguh menggelitik. Seisi rumah mengira aku senang menyambut pensiun, nyatanya aku sungguh kacau sekali. Ini adalah momen mendebarkan yang tak kutunggu. Bahkan kalau bisa masa bekerjaku diperpanjang saja sampai suatu hari aku tak mampu lakukan itu.
Menua bukan berarti kau akan bertambah bahagia. Kadang, sedih juga ada. Seperti yang kuhadapi setiap malamnya sebagai perempuan yang tak lagi menstruasi. Ah, aku ingin mengantuk lebih dini. Melupakan semua dan besok kembali melalui fase-fase terabsurd dalam diri. Perlahan beradaptasi dan menerima diri yang tak lagi muda. Baiklah kita coba dengan tertatih.


