Muara Kata, Rasa dan Cerita

Alineal

Perspektif Perencana Ruang Terhadap Perwujudan Kota Aman dari Kekerasan Seksual

17 December 2021

|

17 December 2021

Pict by freepik

Tata kota dan kemanusiaan adalah satu kesatuan utuh yang seharusnya tidak boleh terpisahkan dalam ideologi pembangunan. Pemaknaan terhadap “pembangunan” bukan melulu mengenai kekuatan konstruksi atau gaya arsitektural yang dianut para perencana. Lebih jauh dari itu, kota adalah ruang bermukim yang mampu mewujudkan kondisi aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan (sebagaimana tertuang dalam amanat UU Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Perwujudan yang demikian tentu tidak sesederhana kelihatannya, sebab turut membutuhkan transformasi sistemik dalam kultur sosial budaya masyarakat perkotaan.

“Tingkat kesejahterahan masyarakat di suatu wilayah tidak hanya cukup dimaknai dengan tingkat pertumbuhan dan produktivitas ekonomi serta kemajuan di bidang fisik saja. Tetapi juga harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya masyarakatnya seperti interaksi sosial, akses masyarakat pada pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan proses demokrasi.” dalam buku perencanaan dan pembangunan wilayah yang ditulis oleh Ernan, Sunsun, dan Dyah.

Penyelenggaraan penataan ruang tidak terlepas dari tujuan penataan ruang yang kerap didasarkan pada arahan perwujudan ruang wilayah maupun kota pada masa yang akan datang. Umumnya perumusan ini berangkat dari isu permasalahan yang berkembang sekaligus keinginan memperbaiki kehidupan yang lebih baik di 20 tahun mendatang.

Membaca situasi hari ini begitu banyak isu permasalahan sosial yang semestinya dapat menjadi kajian penting dalam perencanaan tata ruang suatu wilayah. Merujuk pada pemberitaan di media yang belakangan cukup membuat perasaan kita teriris, agaknya menjadi penting untuk membahas bagaimana perspektif perencana hadir dalam permasalahan kemanusiaan di suatu kota. Peningkatan kasus kekerasan seksual kala pandemi, yang terjadi di ruang permukiman, pendidikan, perkantoran, peribadatan, hingga pelayanan umum lainnya menjadi catatan merah yang perlu dievaluasi bersama. Kota seharusnya punya tanggung jawab untuk menciptakan ruang aman dan nyaman terhadap penghuni di dalamnya. Dalam bentuk fisik, salah satu wujud yang dapat disumbangsihkan adalah penyediaan infrastruktur publik yang ramah terhadap gender, baik perempuan maupun anak yang seringkali dimarginalisasi.

Masih segar dalam ingatan berbagai kisah kekerasan seksual yang membanjiri laman media di tahun 2021 ini. Kita tau bahwa permasalahan ini bukan hal baru, tapi peningkatan yang terus terjadi seharusnya menjadi alarm bahwa negara kita sedang darurat kekerasan seksual. Seorang mahasiswa, pelajar, anak, pekerja kantoran, dan rasa-rasanya hampir setiap lapisan masyarakat menjadi bagian dari korban dari kekerasan seksual. Bahkan pelakunya tidak peduli seberapa tinggi dan rendah tingkat pendidikan, pangkat maupun jabatan. Potensi kejahatan dapat menimpa siapapun dan sudah semestinya seluruh pihak berkomitmen menyelesaikan problematika ini. Bahwa kasus-kasus kekerasan seksual tidak boleh dilanggengkan dan dianggap sebagai permasalahan biasa.

Permasalahan kekerasan seksual bukan hanya milik Komnas perempuan, KPAI, atau Komnas HAM. Lebih jauh dari itu, diskursus kekerasan seksual seharusnya menjadi pembahasan dari berbagai pihak dan jangan sampai ada kekosongan bagian karena sudah menyangkut permasalahan sistemik. Perencana ruang sekalipun perlu ikut andil memberikan sumbangsih solusi. Kita harus sepakat bahwa perencanaan bukan hanya dipandang sebagai upaya pengambilan keputusan mengenai pembuatan dokumen RTRW atau RDTR, namun juga mampu mendorong perubahan sosial dalam masyarakat. Kita sudah seharusnya melihat situasi ini sebagai penyadaran yang dapat membangunkan semangat menghadirkan problem solving dan bersama mewujudkan kota yang ramah terhadap penghuninya.

Lantas, bisakah kota-kota di Indonesia mewujudkan “Kota Aman dari Kekerasan Seksual”?

Tentu bisa, dengan berbagai upaya. Kita bisa belajar dari negara Spanyol, Singapura, Irlandia, Austria, dan Swiss yang mengadopsi konsep kota ramah perempuan. Berbagai negara sudah mulai aware menciptakan ruang pejalan kaki yang aman dari kekerasan seksual. Bagaimana kemudian setiap individu dapat berjalan hingga menggunakan transportasi publik tanpa merasa khawatir akan kebebasan bergerak dan kemudian rasa nyamannya tidak dirampas oleh pelaku kejahatan. Ini menjadi penting, sebab kekerasan seksual juga cukup rentan terjadi di ruang publik, terutama pada spot yang mendukung kejahatan seperti saat malam hari pada lokasi yang minim pengawasan bidang keamanan.

Kota Barcelona misalnya, selain terkenal memiliki tata kota yang indah juga memiliki sebuah pusat saran informasi untuk membantu pria dan wanita menghentikan pelecehan seksual. Pusat informasi tersebut ditempatkan pada lokasi di mana ada festival keramaian. Dewan kota juga menyediakan aplikasi “No es No” yang dapat menjadi ruang melaporkan serangan seksual secara anonim yang kita saksikan dan alami. Di Indonesia, karya anak negeri dari berbagai universitas juga sudah mampu melahirkan aplikasi pelaporan pelecegahan seksual, seperti di UPI Bandung dengan nama Civics Rexa, NoViolence karya mahasiswa UGM, dan TTM karya mahasiswa IPB.

Sebuah jurnal dari Yusuf Efendi yang berjudul “Urgensi Infrastruktur Ramah Gender Dalam Usaha Pencegahan Kekerasan Seksual di Ruang Publik” juga turut memberikan pandangan segar yang perlu diadopsi pemangku kebijakan dalam perencanaan infrastruktur publik. Upaya preventif yang dapat dilakukan antara lain, penyediaan penerangan memadai di berbagai sektor publik, pembuatan fasilitas publik yang bersifat terbuka disertai perawatan secara berjangka, revitalisasi bangunan gedung kosong, adanya pengawasan seperti penempatan kameran dan petugas keamanan di ruang publik, penyediaan layanan umum yang bersifat inklusif dan mudah diakses, serta pembuatan regulasi. Yak, regulasi adalah penting. Walau kabar menyedihkan hari ini bahwasanya RUU PKS gagal masuk paripurna dan harus ditunda pengesahannya menjadi UU dalam Prolegnas DRR RI 2021, semoga sesegeranya kita bisa merenggut regulasi yang suportif.

Sasaran utama perencanaan ruang semestinya berpijak pada efisiensi, keadilan, aksesibilitas masyarakat, dan keberlanjutan. Selain harus berpihak pada publik, pun seiring dengan kewajiban mengakomodasi seluruh pihak, tak terkecuali perempuan, anak, hingga kaum disabilitas yang cenderung lebih rentan. Pengalaman kekerasan sosial yang terjadi dalam masyarakat hari ini sudah seharusnya menjadikan perencana untuk turut terlibat dalam melakukan inovasi perwujudan kota sebagai ruang aman dari kekerasan seksual. Mari mengupayakan.

5 4 votes
Article Rating

Bagikan Tulisan:

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on telegram
Share on email

Bagikan Tulisan:

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on telegram
Share on email
Sekar

Sekar

Senang mengeksplorasi diri, penyuka aroma buku, dan menemui tempat baru. Mengadopsi kepercayaan bahwasanya kata dan bahasa dapat menjadi alternatif paling magis untuk saling berkreasi nan menginspirasi.

Ruang Diskusi

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

*Your email is safe with us and will not be shared

Related Post
KOTAK OPINI

27 Pelajaran di Usia 27

Kalau ditanya apa hal yang paling ingin diperbaiki ketika ada kesempatan untuk memutar balik waktu dan terhenti lama di sana, jawabannya adalah keinginan untuk lebih

LAYAR

REVIEW: Sore, Istri Dari Masa Depan

“Kenapa senja selalu menyenangkan? Kadang dia hitam, kelam. Kadang dia merah merekah. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya”. Sebelum menonton Sore, aku sengaja menghindari

KOTAK OPINI

Yang Bikin Kami Bertahan

Banyak orang bertanya, “bagaimana rasanya menjalani hubungan tanpa kepastian dalam jangka panjang?”. Beberapa menyayangkan keputusan kami yang terlambat menikah. Lainnya khawatir ini membuang-buang waktu karena

KOTAK OPINI

27 Pelajaran di Usia 27

Kalau ditanya apa hal yang paling ingin diperbaiki ketika ada kesempatan untuk memutar balik waktu dan terhenti lama di sana, jawabannya adalah keinginan untuk lebih

LAYAR

REVIEW: Sore, Istri Dari Masa Depan

“Kenapa senja selalu menyenangkan? Kadang dia hitam, kelam. Kadang dia merah merekah. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya”. Sebelum menonton Sore, aku sengaja menghindari

KOTAK OPINI

Yang Bikin Kami Bertahan

Banyak orang bertanya, “bagaimana rasanya menjalani hubungan tanpa kepastian dalam jangka panjang?”. Beberapa menyayangkan keputusan kami yang terlambat menikah. Lainnya khawatir ini membuang-buang waktu karena

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x