2011
Pagi pertama saya memandang punggungmu. Kemudian langkah-langkah kecil di belakangmu, berusaha merapatkan jarak, namun berusaha agar tidak ada yang tahu. Kamu berjalan ringan, seringan dan seanggun bulu angsa. Di hari-hari tertentu ketika mendung, saya langsung tahu, matahari sedang bersembunyi malu karena kalah dengan kedipmu. Saya suka semua itu; sosokmu yang bersemu ditimpa cahaya pagi, dibiaskan refleksi embun bekas dini hari.
Kemudian di suatu hari, saya bisa memandang tepat ke kedua bola matamu. Ada percik pelangi yang teduh, namun juga terselip bara api yang berpendar gaduh. Kamu melompat-lompat, berlari-lari, tersenyum dan tertawa, dan begitu saja saya tahu saya menemukan sesuatu yang lain di sana.
2012
Kamu pusat jagat raya, semuanya tahu itu. Dan tidak letihnya saya lihat planet-planet tak bernama, bintang-bintang rupawan, atau komet cantik sekedar melintas atau tinggal sebentar di porosmu, sekedar mengagumi keindahanmu. Betapa gilanya ketika saya ingin menjadi salah satu di antaranya, meski mungkin serbuk kecil bekas ledakan benda langit yang tak kauperhitungkan. Padahal saya tahu kamu jutaan kilometer jauhnya.
Pendar indah yang melukismu seakan tidak pernah luntur. Memandangimu dari jauh, sambil tak henti berdecak kagum, menahan debar setiap membayangkan jika kamu adalah bintang jatuh. Kamu adalah sesempurnanya dunia tempat saya ingin pulang selama-lamanya. Di sana, saya ingin merebahkan tubuh saat lelah, berbagi semua cerita dan kenangan dari yang remeh sekalipun, menjadi kuat untuk menopangmu, meski saya tahu kamu lebih apapun dibandingkan saya.
Seperti sekumpulan sajak manis di antara pahit yang dunia tawarkan, kamu tersembunyi di antara setiap penggalan puisi penuh rasa dan jiwa, di antara letup semangat ketika kamu berdiri membacanya. Karenamu, saya mulai menulis sajak saya sendiri. Berusaha merangkai kata-kata indah untuk menandingi keindahanmu. Tapi denganmu, saya bersedia dikalahkan.
2013
Tahun dan musim bertemu dan berulang. Bumi mungkin bosan berputar di porosnya, namun saya tidak sekalipun bosan memikirkanmu. Seperti tali-tali yang dijalin dan dirajut, kemana pun saya pergi saya tahu itu semua karenamu. Beberapa keputusan dan pilihan, sedikit banyak karena kamu. Saya berharap setiap setapak kecil sama yang saya ambil denganmu, semakin mendekatkan kita. Saya tidak takut lagi pada benda langit indah lainnya. Meski harus hancur berkeping dan robek, saya ingin berada di dekatmu sekali saja.
Entah kenapa, jika kamu bertanya-tanya. Mungkin karena itu kamu. Kamu, jiwa yang sebebas merpati liar, secantik cahaya utara, dan sehangat bara api jingga. Segala hal kecil selalu mengingatkan saya pada kamu; musik lautan, sajak-sajak penuh kiasan, dan semua tentangmu adalah kebahagiaan.
Begitu seterusnya, saya selalu menjadi penonton dengan teropong yang sudah kelewat tua. Tapi tidak punya nyali untuk berkobar. Kamu selalu dan semakin bersinar.
2016
Tahun dan musim bertemu dan berulang. Tapi saya tidak menemukan alasan untuk pulang. Tidak ketika saya tahu kamu semakin jauh dari jangkauan. Entah dimana, sekarang kamu sudah berkelana sebebas udara. Saya masih tidak bisa menangkapnya.
Tapi saya menemukan sesuatu yang tidak pernah berubah. Apalagi berkurang.
2022
Pada akhirnya semesta meledak. Bintang-bintang berlarian, matahari dan bulan bertabrakan, komet liar berjatuhan.
Sajak-sajak indah berhamburan, kata dan kalimat indahnya terhampar sia-sia.
Namun saya masih di sana, dengan teropong tua dan perasaan yang sama. Kerlipnya tidak akan pudar apalagi hilang. Entah di mana kamu sekarang, tapi saya selalu tidak lelah menunggu untuk pulang. Jika ternyata takdir kita berseberangan, setidaknya kamu tahu ada seseorang yang tidak pernah berhenti menjadikanmu rumah. Pun ketika suatu hari kamu sudah lelah dalam petualang dan ingin pulang, saya tidak akan pernah bosan menunggu kamu datang. Kamu, dan setiap sajak indah yang membentuk saya sampai sekarang.


