Muara Kata, Rasa dan Cerita

Alineal

Tawaran Menuju Kota Berwawasan Ekologis

24 December 2021

|

24 December 2021

pict by sekar_alineal

Pagi tadi sembari menyeduh segelas teh hangat, membaca tulisan Voula Mega berjudul Konsep dan Peradaban Masyarakat Berwawasan Ekologi yang tertuang dalam buku Kota dan Lingkungan menarik untuk diulas. Telah banyak memang kajian yang membawa sinkronisasi antara kota, lingkungan, dan peradaban masyarakat. Kita sudah dibuat terbiasa pada konsepsi berpikir bahwasanya ruang bermukim adalah ekosistem sosial, ekonomi, dan lingkungan berciri kompleks dan dinamis. Dalam perjalanannya, kota dihadapi pada dilema, inovasi, dan drama perkotaan yang membawa gagasan pembangunan ke arah ekologis, humanis, dan berkelanjutan. Dalam tulisannya, Voula mengutip “Keberhasilan masyarakat berwawasan ekologi memunculkan harapan regenerasi dan kebangunan kembali perkotaan. Kota tidak semata-mata membeli lingkungan yang lebih baik, tetapi harus dibentuk sebagai civitates, tempat peradaban.”-

Kota menawarkan problematika ruang yang rasanya tidak ada habisnya. Gelombang permasalahan lingkungan bukan kabar lama yang usang, bahkan hingga kini tak bosan mewarnai catatan penting penyebab perubahan iklim. Rentetan dampak yang dilahirkan bukan hanya perihal kehilangan ruang hijau berganti menjadi gedung tinggi penembus cakrawala, lebih jauh dari itu manusia di masa mendatang akan menanggung kemalangan yang lebih panjang. Rasanya cukup jahat kalau generasi hari ini mewarisi hal-hal buruk kepada generasi masa depan. Seolah kita menikmati banyak secara serakah, sementara setelahnya tidak demikian. Semestinya sebagai manusia berbudi pekerti, kita bergerak melakukan sesuatu, mengubah haluan demi menyelamatkan kepentingan anak cucu. Meminimalisir setidaknya adalah pilihan yang baik dibandingkan terus merawat kerusakan.

Konsep green city (kota hijau) yang mulai cukup eksis berkembang agaknya menjadi salah satu bentuk jawaban penyelesaian persoalan ekologis. Melalui strategi yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan, dengan kombinasi strategi tata ruang, infrastruktur, dan pembangunan sosial, green city diadopsi kota di berbagai negara. Konsep ini seharusnya menjadi trend yang diberdayakan sejak lingkungan rumah tinggal hingga skala perkotaan. Meskipun kota tidak didefinisikan sebagai kawasan agraris, bukan berarti  tutup mata pada upaya penghijauan. Tugas menjaga kelestarian alam bukan hanya tanggung jawab “desa”.  Kota juga punya tuntutan untuk mengawal konsep berkelanjutan secara lingkungan di tengah polemik polusi, kemacetan, banjir, kebakaran lahan, dan bencana ekologis lainnya.

Problematika lingkungan yang merupakan akumulasi dari berbagai sektor kehidupan terus diperparah oleh ulah manusia. Berkaca pada hal ini, Green city menawarkan gebrakan di 8 elemen kehidupan antara lain, green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, and green community. Perhatian yang tak terlupakan untuk sesegeranya menjadi penyadaran bersama adalah mengenai transportasi dan komunitas yang ikut menyumbang problem lingkungan.

Negara butuh reformasi sistemik yang melibatkan stakeholder untuk mewujudkan implementasi konsep kota hijau. Layaknya Leicester yang merupakan kota pertama yang dinobatkan “Ramah Lingkungan”. Kita bisa belajar dari Leicester yang menyuguhkan dukungan jaringan sektor bisnis untuk membentuk akses audit dan bantuan lingkungan, sehingga sektor komersial tidak semata meraup keuntungan tapi juga punya tanggung jawab moral terhadap lingkungan. Keberhasilan lainnya adalah terwujudnya solidaritas berbagai kelompok etnis untuk hidup berdampingan secara harmonis di Leicester.

Namun di balik megahnya gagasan, kalau kita berkaca pada apa yang terjadi pada kota kita hari ini sepertinya belum mampu menggapai apresiasi ramah lingkungan. Masih cukup sulit karena kerja-kerja ekologis masih perlu direvisi dan disempurnakan. Tidak perlu terlalu jauh mengukur dari bagaimana hubungan manusia dan alam, bahkan untuk sekedar kebijakan pelestarian hutan dan lahan hijau saja seringkali diciderai dengan alih fungsi lahan mengatasnamakan pembangunan untuk publik. Deforestasi lahan bukan hal tabu untuk diketahui, itulah pil pahit yang ditelan masyarakat urban. Kita kehilangan banyak.

Lalu kemudian bagaimana merekontruksi ulang hubungan manusia dan alam di abad-21? Penyadaran melalui komunitas warga rasanya bisa menjadi solutif, sebab bentuk pergerakan sadar lingkungan biasanya lahir dari situasi sekitar. Sesederhana buang sampah pada tempatnya saja kita perlu kerja ekstra untuk mengajari dan sampai hari ini pembiasaan itu belum terjadi secara serempak pada tiap individu. Beberapa dari kita masih merasa buang sampah sembarangan tidak seserius itu menyumbang bencana banjir, hanya persoalan rusaknya estetika yang tak seberapa. Beberapa lainnya memilih tidak peduli. Ketidaksadaran dan ketidakpedulian itulah tanda masih butuh banyak kiat yang melibatkan peran dari banyak pihak agar kebersihan lingkungan dapat terwujud menyeluruh. Itu baru satu contoh, lainnya masih banyak dan cukup sering membuat kondisi lingkungan kita kritis seperti kebakaran hutan dan lahan.

Dilema lainnya, sektor transportasi yang nyatanya memang berhasil memudahkan pergerakan orang-barang justru menghasilkan konsumsi lalu lintas tinggi dan bersebrangan dengan nilai green transportation. Fakta bahwa jalan kaki dan bersepeda merupakan sarana transportasi yang paling berkelanjutan secara lingkungan dan dianggap lebih manusiawi tidak dapat terelakkan. Kita mungkin akan menggerutu dan bilang itu melelahkan, ketika sudah terlalu nyaman mobilitas dengan naik motor dan mobil. Sulit memang, kecuali bujukan itu diimbangi dengan penyediaan prasarana transportasi yang nyaman, fleksibel, murah, dan menyenangkan. Dengan begitu, disuruh berhenti membeli mobil pribadi dan bergerak menggunakan kendaraan umum pun rakyat mau. Intinya sebelum ada solusi yang lebih praktis, perubahan gaya hidup itu takkan mungkin. Lalu pertanyaan menggelitik, dapatkah Kota Pontianak seperti Amsterdam yang menyediakan jalur bersepeda paling luas, mengimbangi rute jalan raya dan kanal? Jalur pejalan kaki dan sepeda saja hari ini tak tersedia di setiap ruas jalan, bagaimana kemudian membangun lebih besar dari itu~~

Tak ada yang tak bisa memang dari upaya membangun dan merawat perubahan. Hanya saja tantangan yang dihadapi cukup kompleks, sesuai kompleksitas kota itu sendiri. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana secara perlahan kita mau berubah dan bersama membangun kota dengan orientasi berkelanjutan. Sekecil apapun langkah dari berbagai peran adalah bukti nyata sumbangsih untuk masa depan yang lebih baik.

“Para pembuat keputusan seharusnya menjadi pembuat perubahan. Desentralisasi, kekuasaan, dan kesetiaan merupakan prasyarat untuk memenuhi tantangan perubahan.” – Voula Mega

Sebab kata Aristoteles, kota adalah politik yang dibangun. Di sana terdapat interaksi yang kuat antara bentuk dan nilai-nilai politiknya yang mendominasi penyelenggaraannya.

5 2 votes
Article Rating

Bagikan Tulisan:

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on telegram
Share on email

Bagikan Tulisan:

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on telegram
Share on email
Sekar

Sekar

Senang mengeksplorasi diri, penyuka aroma buku, dan menemui tempat baru. Mengadopsi kepercayaan bahwasanya kata dan bahasa dapat menjadi alternatif paling magis untuk saling berkreasi nan menginspirasi.

Ruang Diskusi

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

*Your email is safe with us and will not be shared

Related Post
KOTAK OPINI

27 Pelajaran di Usia 27

Kalau ditanya apa hal yang paling ingin diperbaiki ketika ada kesempatan untuk memutar balik waktu dan terhenti lama di sana, jawabannya adalah keinginan untuk lebih

LAYAR

REVIEW: Sore, Istri Dari Masa Depan

“Kenapa senja selalu menyenangkan? Kadang dia hitam, kelam. Kadang dia merah merekah. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya”. Sebelum menonton Sore, aku sengaja menghindari

KOTAK OPINI

Yang Bikin Kami Bertahan

Banyak orang bertanya, “bagaimana rasanya menjalani hubungan tanpa kepastian dalam jangka panjang?”. Beberapa menyayangkan keputusan kami yang terlambat menikah. Lainnya khawatir ini membuang-buang waktu karena

KOTAK OPINI

27 Pelajaran di Usia 27

Kalau ditanya apa hal yang paling ingin diperbaiki ketika ada kesempatan untuk memutar balik waktu dan terhenti lama di sana, jawabannya adalah keinginan untuk lebih

LAYAR

REVIEW: Sore, Istri Dari Masa Depan

“Kenapa senja selalu menyenangkan? Kadang dia hitam, kelam. Kadang dia merah merekah. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya”. Sebelum menonton Sore, aku sengaja menghindari

KOTAK OPINI

Yang Bikin Kami Bertahan

Banyak orang bertanya, “bagaimana rasanya menjalani hubungan tanpa kepastian dalam jangka panjang?”. Beberapa menyayangkan keputusan kami yang terlambat menikah. Lainnya khawatir ini membuang-buang waktu karena

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x