Banyak orang bertanya, “bagaimana rasanya menjalani hubungan tanpa kepastian dalam jangka panjang?”. Beberapa menyayangkan keputusan kami yang terlambat menikah. Lainnya khawatir ini membuang-buang waktu karena kalau dikalkulasi secara moneter harusnya dengan waktu sepanjang ini kami sudah bisa mencicil rumah hehe. Semua respon sosial itu kami catat dalam ingatan.
Tidak ada yang salah, kadang bentuk kepedulian orang lain adalah dengan “menanyakan perasaan” dan mengkhawatirkan kita lebih banyak. Terus terang, meskipun pertanyaan itu sudah ratusan kali kami terima, we’re totally okay, even very proud karena ada orang yang berani membahas hal personal yang sebenarnya tidak terlalu berdampak buat kehidupannya. Anyway, terima kasih atas perhatiannya karena kami tahu mereka punya maksud baik dan mungkin menyayangi kami sebagai kawan baik.
Sesekali untuk menangapi pertanyaan itu, ada yang kami tanggapi dengan panjang, sampai akhirnya mereka mengerti maksudnya. Tapi lebih banyak yang hanya dibalas dengan senyum kecil. Tidak mudah menjabarkan kisah kami pada banyak orang, terlebih karena dalam perjalanan delapan tahun ini kami pun melewati fase yang dinamis.
Sebagai dua anak muda yang sedang berproses mengenali diri sendiri, kami melewati banyak hal. Dan itu nggak selalu tentang “kami” sebagai sepasang, tapi juga tentang mimpi kami masing-masing, yang secara personal bisa jadi sama sekali nggak ada hubungannya dengan hubungan ini. Terdengar egois, mungkin. Tapi begitulah cara kami bertumbuh.
Kami mendukung penuh mimpi satu sama lain, mendoakan yang terbaik, dan selalu menyediakan ruang berkeluh-kesah kapanpun dibutuhkan. Mungkin itu sebabnya kenapa kami begitu menyukai petikan kalimat dari Erich Fromm.
“Aku ingin orang yang kucintai bertumbuh dan berkembang demi dirinya sendiri, dan dalam caranya sendiri. Dan bukan agar bisa melayaniku. Jika aku mencintai orang lain, aku merasa satu dengannya, tetapi dengan dia sebagai dirinya, bukan sebagai dia yang kuinginkan sebagai obyek kepentinganku.”
Kalimat itu terasa dekat dengan kami. Sebab sebagai dua orang yang saling menemani proses tumbuh, kami tak pernah berusaha menghalangi jalan satu sama lain. Kami membebaskan ke mana pun langkah masing-masing membawa kami berlayar, sejauh apa pun tempat belajar itu berada. Meskipun konsekuensinya adalah frekuensi pertemuan yang menipis, atau jarak tinggal yang semakin melebar, kami tetap percaya bahwa pertumbuhan pribadi selama itu baik, akan membawa kebaikan pula bagi hubungan ini.
Ya meskipun tetap saja, selalu ada benturan “perbedaan” pemikiran, sikap, dan keputusan-keputusan dalam hidup. Nggak semuanya serba seiring, kadang harus bersebrangan, menghadapi konflik, bahkan menangis karena merasa sama-sama nggak bisa mengerti.
Tapi dari semua kejujuran emosional itu, kami menjalani peran sebagai seseorang yang berani berterus terang. Meski itu bukanlah hal yang menyenangkan untuk didengar, tapi ternyata berani untuk saling komplain, mempertanyakan secara detail, dan menjenguk konflik-konflik sepele adalah yang membentuk kekuatan hubungan ini. Ya, kami nggak alergi sama perdebatan, sebab kami tau caranya beradu argumen tanpa saling melukai.
Perjalanan mengenali diri dan memahami satu sama lain bukan hal yang mudah. We’ve had our struggles. Mungkin secara rinci kami nggak akan bisa menjabarkan semuanya, namun satu yang pasti dukungan dan kepercayaan akan selalu coba kami pelihara dalam jangka panjang. Sejauh ini kami masih punya banyak alasan untuk melanjutkan.
Semoga langkah kami berikutnya dimudahkan, dikuatkan, dan disegerakan.
Begitu juga kalian, semoga dikelilingi oleh cinta yang sehat, hangat, dan saling menumbuhkan.



“Semoga langkah kami berikutnya dimudahkan, dikuatkan, dan disegerakan.” Aamiin paling serius
Thankyou🥰😺
Semoga dimudahkan dan disegerakann ya mbakku
Semogaaaaa kamu juga yaah!✨