Pernahkah kamu merasa setiap kali sedang benar-benar menginginkan sesuatu, semangat yang menggebu-gebu selalu menyala di awal perjalanan? Rasanya seperti diterpa angin kepercayaan diri dan dihinggapi aroma semerbak optimisme yang memberikan kita energi untuk berani melakukan banyak hal tanpa ragu. Iya, nggak ada rasa ragu buat mengeluarkan effort terbaik yang kita punya karena bayangan keberhasilan seolah begitu dekat dan nyata. Nyaris nggak ada ketakutan untuk melangkah, justru kita enggan buat membahas prediksi kegagalan di tengah jalan saking pedenya hihi~
Lalu seiring waktu, euforia itu bisa memudar. Nilai dari apa yang pernah kita kejar seakan menjadi bias karena sempat dipengaruhi oleh ekspektasi yang sifatnya emosional dan impulsif. Kita jadi biasa aja menjalaninya, nggak lagi menghadapi bufferfly era, bahkan lebih jauh malah mempertanyakan alasan untuk bertahan. Ujian berikutnya yang dihadapi ternyata nggak sesederhana mewujudkan rencana-rencana itu, tapi justru survive dengan rasa jenuh yang suka menyerang di waktu-waktu kritis. Itulah mengapa rasa syukur dan kesadaran perlu terus dilatih, agar kita menyadari bahwa apa yang pernah diperjuangkan itu berharga dan layak dijaga. Just remember, someone who truly desires something is often tested by consistency and endurance.

Kita mungkin nggak bisa selalu melihat value dari sesuatu secara konstan, tapi untuk mengenali mana yang benar-benar penting sebetulnya sudah bisa diidentifikasi sejak awal aspek mana aja yang nggak boleh bergeser dari prioritas. Selain itu, hal yang paling penting adalah kita butuh komitmen untuk menghargai nilai-nilai tersebut. Being loyal to your value is costly. So be wise with your trust!
Tapi apakah nggak konsisten itu salah? Menurutku nggak sepenuhnya. Sebab manusia itu dinamis, kita akan selalu punya hak untuk inkosisten terhadap keyakinan pun pengetahuan yang pernah kita sepakati di masa lalu. Semua keputusan-keputusan itu bisa saja berubah karena dipengaruhi banyak hal.
Lalu pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana kita memaknai loyalitas? Apakah kesetiaan hanya terjadi ketika kamu menetapkan prinsip pada satu titik dan tidak beranjak kemana-mana? Apakah mendefinisikan kesetiaan selalu identik dengan kemampuan untuk bertahan saja?
Dalam buku The Limits Of Loyalty karya Simon Keller, loyalitas sering kali dekat dengan keberpihakan kita secara emosional dan tindakan pada objek kesetiaan. Jika kita setia pada sesuatu, kita akan memperlakukannya dengan hormat, berusaha untuk memihaknya, bersemangat ketika memikirkannya, bersedih ketika penderitaan menimpanya, dan selalu berujung pada penilaian terhadapnya secara khusus. Objek kesetiaan tersebut akan menempati ruang tersendiri di dalam hati, diprioritaskan, dan mendapat perhatian yang berbeda dari hal-hal lainnya. Pada tingkatan tertentu, kita merasa terikat padanya dan itu menumbuhkan kepercayaan secara implisit, bahkan sampai pada kemauan untuk menjadikan objek tersebut sama berharganya dengan diri sendiri. Reaksi semacam itu terdengar hebat dan tanpa sadar kita pun mengalaminya.

Contohnya saat mendukung figur kebanggaan, tak pernah absen menonton pertandingan tim sepak bola kesayangan, selalu memprioritaskan kepentingan kekasih hati, bahkan siap memerangi siapa pun yang melukai perasaan orang tua kita. Semua rasa cinta, sikap, keberpihakan, pilihan yang sadar, dan curahan perhatian itu adalah wujud loyalitas terhadap objek yang kita anggap punya makna khusus. Tidak semua orang akan beruntung mendapatkan perhatian yang sama. Naluri alamiah semacam itu mengirim sinyal kepada siapa kita bisa mempercayai, berempati lebih dalam, merasa aman, dan menaruh hormat secara penuh. Itulah mengapa kesetiaan adalah harga mahal yang kita punya karena tidak bisa dilakukan dan diberikan pada sembarang orang.
Begitu berharganya makna dari loyalitas sehingga tak jarang orang-orang akan menjaga siapapun yang bertahan mendedikasikan kesetiaan padanya. Mereka kerap merayakan dalam “anniversary” yang diulang setiap tahunnya, mengucapkan rasa syukur, berterima kasih, dan berdoa untuk kebersamaan yang lebih panjang lagi. Lainnya bahkan mengapresiasi setiap pilihan untuk bertahan, sekalipun ujian menyerah selalu datang bertubi-tubi. Perayaan-perayaan semacam itulah yang menjadi simbol kemegahan orang-orang yang bersetia pada kata hati dan perbuatan. Kita seperti memenangi pertempuran yang musuhnya nggak pernah mati, tapi senjata dan kekuatan kitalah yang terus-menerus membaik.
“By choosing to prioritize loyalty, we’re not just honouring our friends; we’re also honouring the richness and depth of human connection itself.”
Perempuan dan Kesetiaan : Dari Pasrah Menuju Berdaya
Berbicara mengenai kesetiaan, hal yang mungkin nggak kita sadari adalah respon perempuan terhadap “cinta dan kesetiaan” kerap kali mengalami perubahan dari satu masa ke masa berikutnya. Dalam jurnal, Asri dkk (2019) diceritakan bagaimana dalam karya sastra di Indonesia yang ditulis oleh pengarang perempuan, representasi cinta dan kesetiaan pada era 1940-an banyak diwarnai oleh nilai ketergantungan dan kepasrahan. Perempuan melihat esensi loyalitas sebagai hal mendasar yang mempengaruhi keberhasilan pernikahannya. Mereka akan sekuat hati merawat rumah tangannya, memaafkan suaminya, dan menerima segala bentuk pengkhianatan dengan tetap bertahan.
Barulah saat memasuki dekade 1970-an para perempuan mulai berani hidup tanpa bergantung pada cinta yang salah, menjadi lebih berdaya, dan lebih objektif dalam membangun keputusan. Pergeseran sikap ini dalam realitas membawa perempuan lebih dekat pada tanggung jawab personal dan kebahagiaan diri yang seharusnya menempati prioritas. Bahkan di tahun 2000, tokoh perempuan dalam karya sastra nggak melulu dikaitkan dengan kehidupan domestik, melainkan sosok yang banyak tampil di ruang publik. Perempuan menempatkan cinta terhadap dirinya sendiri sebagai kebutuhan utama untuk kemudian melayani perasaan orang lain.
Sebagai perempuan kita memang sepakat bahwa kesetiaan adalah hal berharga yang perlu dijaga. Siapa pun yang mampu merawat cinta, menjaga kedamaian dalam hubungan, dan mempertahankan nilai-nilai dalam sebuah komitmen tentu pantas dihargai. Namun, bukan berarti bertahan selalu menjadi jawaban. Kita juga nggak boleh menutup mata terhadap luka dan pasrah pada keadaan yang menyiksa.
Ketika kita sudah berusaha menaruh segala perasaan dan sikap yang baik pada seseorang lalu tidak mendapatkan balasan yang pantas, mestinya kita masih boleh mengambil sikap untuk pergi. Loyalitas sejati tidak hanya tentang bertahan, tapi juga keberanian untuk memilih, mengevaluasi, dan memperbaharui semua keputusan dalam hidup yang lebih banyak mengandung kebaikan. Tentu saja, pilihan-pilihan itu nggak seharusnya menyakiti diri sendiri.
Percayalah memilih untuk nggak lagi bertahan bukan berarti kita berhenti peduli, melainkan sebagai cara mengukur perjuangan-perjuangan yang memang layak dilanjutkan dan dilepaskan dengan ikhlas. Loyalitas adalah bahasa kasih yang bisa kita beri pada orang-orang yang layak. Maka dedikasikanlah kesetiaanmu hanya pada hal-hal baik yang perlu diberi tempat, terutama dirimu sendiri dan mereka yang memang pantas dicintai berkali-kali.


